Dasar pelaksanaan
adanya kegiatan Inseminasi Buatan (IB) adalah dari Peraturan Menteri Pertanian
Nomor 48/Permentan/PK.210/10/2016 tentang Upaya Khusus Percepatan Peningkatan
Populasi Sapi dan Kerbau Bunting. Dengan ditetapkannya Permentan tersebut, maka
diharapkan percepatan pertambahan populasi ternak sapi dan kerbau dapat segera
meningkat. Pangan merupakan kebutuhan dasar utama manusia
yang pemenuhannya merupakan bagian dari hak asasi setiap rakyat Indonesia.
Pangan senantiasa harus tersedia secara cukup, aman, bermutu, bergizi, dan beragam
dengan harga yang terjangkau daya beli masyarakat, serta tidak bertentangan
dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat.
Pada
umumnya peternak di Indonesia masih menggunakan metode beternak secara
tradisional, baik metode perkawinnya maupun metode pengobatan terhadap ternak
yang sakit. Dengan menggunakan perkawinan yang tradisional (kawin alam) tidak
akan mampu meningkatakan mutu genetik ternak tersebut, dengan adanya
bioteknologi Inseminasi buatan merupakan cara yang yang tepat untuk
mendeposisikan spermatozoa (sel-sel sperma) ke dalam organ reproduksi betina
dengan menggunakan teknik inseminasi buatan untuk meningkatakan mutu genetik
ternak (Ismaya, 2014).
Inseminasi
buatan (IB) atau kawin suntik adalah upaya memasukkan semen/mani ke dalam
saluran reproduksi hewan betina yang sedang birahi dengan bantuan inseminator
agar hewan bunting. Keahlian dan keterampilan inseminator dalam akurasi
pengenalan birahi, sanitasi alat, penanganan (handling) semen beku, pencarian
kembali (thawing) yang benar, serta kemampuan melakukan IB akan menentukan
keberhasilan (Utami dan Agris, 2012).
Inseminasi
Buatan (IB) adalah proses perkawinan yang dilakukan dengan campur tangan
manusia, yaitu mempertemukan sperma dan sel telur agar dapat terjadi proses
pembuahan (fertilisasi). Inseminasi
buatan merupakan salah satu teknologi reproduksi yang dapat meningkatkan mutu
genetik dan menghindari terjadinya inbreeding serta penyakit penularan (Hafez,
2000a dan Juhani, 2009). Inseminasi buatan dapat meningkatkan efisiensi
reproduksi (Hafez, 2000a).
Berhasilnya
suatu program Inseminasi buatan (IB) pada ternak tergantung pada kualitas dan
kuantitas semen yang diejakulasikan seekor pejantan, kesanggupan untuk
mempertahankan kualitas, dan memperbanyak volume semen sehingga lebih banyak
betina akseptor yang bisa diinseminasi. Inseminasi buatan adalah suatu cara
untuk memasukkan semen beku (sperma beku) yang telah dicairkan dan telah
diproses terlebih dahulu yang berasal dari organ reproduksi ternak yang
disaluran ke organ reproduksi betina dengan menggunakan metode dan alat khusus
yang disebut insemination gun. Inseminasi buatan merupakan cara paling berhasil
dan dapat diterima secara luas oleh masyarakat Indonesia (Solihati dan Kune,
2009).
Di dalam
pelaksanaan kegiatan IB yang harus diperhatikan adalah mengenai kebersihan dan
ketepatan waktu IB, hal tersebut penting untuk dilaksanakan untuk tercapainya
keberhasilan IB. Jika dalam implementasi pelaksanaan IB tidak dilakukan dengan
bersih, maka alat inseminasi (gun IB) akan membawa bakteri atau kuman ke dalam
organ reproduksi. Organ reproduksi sapi betina yang telah terinfeksi oleh
bakteri atau kuman akan mengalami ganguan reproduksi yang disebut endometritis.
Penyakit endometritis akan menghambat terjadinya kebuntingan pada ternak sapi
betina dalam jangka waktu yang panjang bila tidak segera diobati.
Ketepatan
waktu implementasi IB juga sangat penting untuk diukukan, karena dengan
mengetahui tanda – tanda birahi puncak pada sapi betina akan memudahkan spermatozoa membuahi sel telur pada saat setelah penyemprotan semen ke dalam
uterus.